Kaltengtoday.com, Palangka Raya – Tim Gabungan dari Tim Patroli Center for International Cooperation in Sustainable Management of Tropical Peatland (CIMTROP) Universitas Palangka Raya, Masyarakat Peduli Api (MPA) Kereng Bangkirai dan Kelurahan Sabaru, serta Borneo Nature Foundation (BNF) Indonesia, mengadakan kegiatan pembersihan jalur di Sungai Sebangau Kota Palangka Raya pekan lalu.
Pembersihan pampanan atau tumpukan pohon rasau (Pandanus helicopus) yang hanyut dan menumpuk menyebabkan jalur Sungai Sebangau tertutup. Hal tersebut mempersulit akses Tim Patroli Gabungan dalam melakukan kegiatan patroli dan nelayan yang mencari ikan.
Manajer Konservasi BNF Indonesia, Adhy Maruly mengatakan, pampanan sudah menutup beberapa titik di Sungai Sebangau. Jika terjadi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), hal itu dapat memperlambat akses tim patroli dalam upaya memadamkan api.
“Pampanan tersebut harus segera dibersihkan agar mempermudah akses tim dalam melakukan patroli rutin. Kegiatan patroli ini dilakukan untuk mengamankan kawasan Laboratorium Alam Hutan Gambut, area khusus di dalam Taman Nasional Sebangau, dari kegiatan penebangan liar, perburuan satwa, penangkapan ikan secara ilegal, serta kebakaran hutan,” katanya, Selasa (21/9/2021).
Di sisi lain, Koordinator MPA Kereng Bangkirai, Aditya mengatakan, tim gabungan yang terlibat berjumlah 36 orang, serta dalam kegiatan pembersihan dilakukan selama empat hari. Pembersihan pampanan merupakan rangkaian kegiatan penanganan dan kesiapsiagaan bencana karhutla.
“Ada beberapa kendala yang kami hadapi, namun yang paling sulit ketika harus menarik pampanan besar yang sudah membentuk pulau-pulau rasau. Semakin banyak yang membantu dalam kegiatan ini akan sangat memudahkan kami membersihkan jalur ini,” ucapnya.
Lebih lanjut dijelaskan, terdapat satu pampanan besar yang menutupi jalur sungai, sehingga penanganannya harus ditarik dengan enam perahu klotok.
Pada hari kedua tim gabungan mendapat bantuan dua buah klotok yang secara khusus ikut mendorong pampanan sehingga memudahkan tim. Alat yang digunakan masih manual seperti tali, gergaji, parang, dan juga tongkat kayu.
Baca Juga : Cegah Karhutla, BPBD Palangka Raya dan Satgas Karhutla Lakukan Patroli Dan Sosialisasi
“Setelah pampanan dapat bergerak ke tepian, kami ikat dengan tali sebesar ibu jari agar tidak hanyut dan menutupi sungai lagi. Terkadang tali putus dan tim terpaksa menyelam untuk mengikat lagi,” terangnya.
Sementara itu, menurut Arli, salah seorang warga Kereng Bangkirai yang ikut dalam kegiatan tersebut, juga membenarkan hal tersebut bahwa untuk memasang tali agar kuat haruslah diikat di bagian akar-akar rasau.
Sesekali ia menceburkan dirinya untuk menebas bonggol batang rasau agar dapat mencapai akar tempat mengikat tali.
“Jika hanya diikat di batang rasau biasanya akan terputus karena batangnya mudah patah. Oleh karena itu, kami mengikatnya di akar dan harus sedikit menyelam. Paling sulit adalah pulau-pulau rasau yang besar karena harus ada tambahan klotok untuk mendorong agar bisa bergerak,” ungkapnya.
Baca Juga : Polisi Selidiki Terjadi Karhutla di Jalan Yos Sudarso Ujung Palangka Raya.
Selain mempermudah tim patroli melakukan kegiatan, lanjut Arli, jika jalur sungai bersih maka masyarakat yang sehari-hari melakukan aktivitas di sungai juga dapat melaluinya seperti biasa. Sebagian besar masyarakat Kelurahan Kereng Bangkirai dan Kelurahan Sabaru masih berprofesi sebagai nelayan tradisional.
“Jika jalurnya bersih maka saya juga bisa kembali mengantarkan para wisatawan susur sungai atau para pemancing yang sering datang ke Sungai Sebangau,” pungkasnya. [Red]
Discussion about this post