Kalteng Today – Kuala Pembuang, – Dipagi nan terik itu nampak sekelompok perempuanĀ saling bergotong memutar batang kelapa yang ditaruh pada sebuah kayu penyangga untuk meremukkan ikatan purun agar mudah diolah menjadi tikar.
Peluh disekujur tubuh akibat beratnya pekerjaan dan terik matahari tak jua dihiraukan oleh para wanita yang kebanyakan sudah berusia paruh baya itu.
Memang menekuni suatu usaha pastinya dibutuhkan kemahiran dan kesabaran dalam mengelola usaha agar tetap berjalan.
Itulah yang saat ini dilakoni oleh para kaum ibu di Desa Pematang Panjang, Kecamatan Seruyan Hilir, Kabupaten Seruyan Kalteng.
Profesi mereka adalah pembuat anyaman tikar purun. Kaum perempuan ini tak lantasĀ mengeluh dengan keterbatasan akses pemasaran hasil kerajinan.
Meski ditengah pandemi penyebaran Covid-19, usaha yang dilakoni secara turun temurun di desa itu, hingga saat ini masih tetap bertahan dengan gaya khas pembuatan secara tradisional.
“Desa kami ini dikenal sebagai sentra pengrajin atau pembuatan anyaman tikar dari bahan purun,” kata Ibu Tasmi (49), mengawali pembicaraan, saat disambangi Kalteng Today, Minggu pagi (14/6/2020).
Cuaca Minggu pagi ini cukup tampak terik, dengan kondisi dilingkungan pedesaan itu terlihat sepi.
Jemuran purun yang masih basah, berjejer di depan rumah warga dengan harapan agar cepat kering untuk selanjutnya diolah menjadi anyaman tikar.
Tampak Ibu Tasmi bersama kaum ibu lainnya, saling bergotong memutar batang kelapa yang ditaruh pada sebuah kayu penyangga untuk meremukkan ikatan purun agar mudah diolah menjadi tikar.
“Memutar batang kelapa untuk mengolah purun ini butuh tenaga. Meski tenaga tak sekuat dulu, kita tetap harus semangat. Dengan harapan olahan tikar purun nanti bisa laku terjual,” ucap Ibu Tasmi.
Ibu Tasmi mengaku, untuk pengadaan bahan baku purun, dia bersama pengrajin lainnya masih menggandalkan pasokan dari warga desa setempat yang bersedia mencarikan purun.
“Satu ikat purun kita beli seharga Rp7.000. Itu pun sekarang ini agak susah memperolehnya,” ujarnya.
Dia melanjutkan, bahan baku purun yang diperoleh pengrajin, biasanya masih dalam keadaan basah.
Purun itu tak bisa langsung diolah menjadi tikar atau anyaman kerajinan lainnya. Tetapi harus dijemur selama beberapa hari hingga kering.
Selanjutnya melalui proses penggilingan selama satu hari dan berlanjut ke proses pengayaman.
Baca Juga:Ā Viral, Lagu āBalonkuā dan āNaik-Naik ke Puncak Gunungā Disebut Ajarkan Kebencian Terhadap Islam
“Untuk satu buah tikar purun ukuran 1,5 meter kita jual kepada pengepul seharga Rp15.000 perlembar. Kalau kita jual sendiri, biasanya Rp20.000 perlembar,” ucapnya.
Berbicara soal keuntungan dari usaha pembuatan tikar purun tersebut, Ibu Tasmi mengungkapkan, keuntungan dari hasil penjualan yang diperoleh tak banyak. Hasilnya hanya cukup untuk menambah atau menopang biaya kebutuhan hidup keluarga di rumah.
“Bayangkan saja, untuk satu ikat bahan baku purun, begitu diolah hanya bisa memperoleh satu buah tikar.
Rata-rata dalam satu keluarga pengrajin, mampu menganyam tikar sebanyak lima lembar. Itu pun butuh proses pembuatan selama beberapa hari, mulai dari penjemuran, penggilingan hingga penganyaman,” tutur dia.
Dimasa pandemi Covid-19 ini, dia bersama pengrajin lainnya berharap ada perhatian dari pemerintah daerah guna membantu untuk pengembangan usaha tradisional ini.
“Selama pandemi virus Corona ini kita tetap bertahan dalam usaha, meskipun penjualan hasil kerajinan agak sepi. Mudah-mudahan saja ada perhatian dari pemerintah daerah agar usaha kecil ini tetap selalu berjalan,” ungkapnya. [Red]
Discussion about this post