Kaltengtoday.com, Palangka Raya – Anggota DPD RI, Agustin Teras Narang menyampaikan terkait dengan bagaimana undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK yang pertama lahir.
“UU KPK itu lahir saat saya kebetulan menjadi Ketua Komisi II DPR RI masa jabatan 1999-2004. Komisi yang membahas dan memutuskannya pada tingkat pertama,” katanya kepada awak media, Selasa (2/7).
Pada saat itu, ia membeberkan, nama lengkap komisi ini bernama KPTPK atau Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai namanya dalam UU. Lalu kemudian belakangan disingkat menjadi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Baca Juga : Â Catatan Merah Dari KPK Menjadi Koreksi Bagi Pihak Sekolah
“Pembentukan KPK tiada lain adalah memenuhi tuntutan reformasi, di mana salah satu tuntutannya adalah memberantas praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme),” ujarnya.
Di awal konsepnya memandang bahwa Korupsi adalah pelanggaran hak asasi manusia, dan merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
“Oleh karenanya harus ditangani dan diselesaikan juga dengan tata cara dan lembaga yang luar biasa pula,” tuturnya.
Oleh karena itu negara menurutnya sangat memerlukan lembaga penegak dan pemberantas tindak pidana korupsi yang mempunyai kewenangan luar biasa, dan tanpa campur tangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, maupun oleh lembaga-lembaga lainnya dan pihak mana pun juga.
“Mendasarkan pada kehendak awal itu, saya mengingat pembahasan RUU kala itu tidak tepat waktu. Ini mengingat kondisi pemerintahan kita belum begitu stabil, dan belum begitu kondusif, akibat adanya perpindahan era pemerintahan dari era orde baru menuju era reformasi,” jelasnya.
Pada era Presiden Gus Dur, Teras menerangkan, RUU KPK tidak sempat dibahas. Dan, baru pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, pembahasan RUU KPK dapat dilakukan dan dituntaskan.
Baca Juga : Â Ini Respon Plt Kadisdik Kalteng Terkait Rilis KPK RI
“Konsep awal KPK dilahirkan adalah dengan harapan dapat menjadi lembaga luar biasa dalam pencegahan, pemberantasan, dan penindakan, serta penghukuman tindak pidana korupsi,” ungkapnya lagi.
Dengan begitu, proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di Pengadilan (tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung), semuanya berada di bawah koordinasi dan kewenangan KPK. Semua diatur dalam satu undang-undang.
“Desain ini diharapkan membuat proses penyelesaian perkara tindak pidana korupsi, sama sekali tidak bisa dan tidak boleh dicampuri oleh siapapun, dan lembaga apa pun juga,” tuturnya.
Namun, Teras menjelaskan, terdapat cukup banyak kendala dan pertentangan yang dihadapi pada saat itu. Sehingga pihaknya saat di Komisi II DPR RI periodesasi 1999-2004, pada akhirnya hanya bisa menghasilkan UU Nomor 30 Tahun 2002.
Baca Juga : Â KPK RI Rilis Temuan SPI, Komisi III DPRD Kalteng Akui Prihatin
“Itulah hasil sebuah UU dengan dinamika politik tinggi yang dapat kami sumbangkan kepada masyarakat, bangsa, dan negara, khususnya terkait dengan upaya pemberantasan dan penindakan tindak pidana korupsi di tanah air yang kita cintai bersama ini,” sebutnya.
Ia menegaskan, hal ini menjadi salah satu sumbangan dari seorang anak Suku Dayak, yang dipercayakan Rakyat Kalteng untuk mewakilinya di lembaga dan forum nasional.
“Saya menyampaikan catatan ini untuk kita, khususnya generasi muda, untuk mengingatkan pentingnya bangsa ini mengatasi masalah korupsi. Juga bahwa putera daerah dari manapun asalnya, bisa berperan penting bagi kemajuan bangsa dan negara,” tegasnya.
“Saya berharap, apa yang saya sampaikan dapat menjadi kenangan dan bermanfaat bagi kita semuanya. Prinsipnya adalah bahwa kita bisa, kita mampu, dan kita layak,” tukasnya.[Red]
Discussion about this post