“Yang kedua ini juga membuktikan bahwa rapid test itu sebetulnya tidak mendeteksi apakah seseorang itu tertular COVID-19 atau tidak, hanya tes antibodi, karena selama ini juga untuk memastikan seseorang terinfeksi virus corons masih mengandalkan hasil hasil Swab,” tutur Kurniawan.
Baca Juga:Â Ditengah Pandemi Covid-19, DPRD Kotim Tetap Melaksanakan Kewajiban Monitoring
Pertanyaan tambah Kurniawan apakah masih relevan memberlakukan tes antibodi ini sebagai syarat bepergian bagi penumpang pesawat udara, kereta api maupun kapal, karena sebenarnya rapid test ini tidak ada gunanya untuk mencegah penularan COVID-19.
Sementara itu, Riskon Fabiansyah Anggota DPRD Kotim lainnya, juga mengkritisi terkait surat edaran yg dikeluarkan oleh Kemenkes yang ditanda tangani oleh Dirjen pelayanan kesehatan mengenai besaran tarif tertinggi untuk rapid test antibodi adalah Rp.150.000.
Menurutnya kebijakan tersebut seharusnya diikuti juga dengan fasilitasi pemerintah pusat melalui kemenkes dengan penyediaan alat rapid test nya, karena apabila hal tersebut dibebankan ke pemerintah daerah masing-masing maka akan sulit untuk dipraktekan dilapangan kebijakan tersebut.
“Saat ini sejak adanya refocusing anggaran Covid-19 banyak program pemda yang dibatalkan akibat ketiadaan anggaran yg dipotong oleh pemerintah pusat, terlebih lagi jika biaya rapid test dibebankan kepada pemerintah daerah saya rasa akan berat dengan kondisi keuangan pemerintah daerah saat ini,” jelas Riskon.
Disisi lain pihak swasta yang pastinya berorientasi kepada nirlaba saya yakin akan ada penolakan terkait kebijakan tersebut. jadi secepatnya kebijakan pemerintah pusat ini harus dikoordinasikan lagi dengan pemerintah daerah agar tidak jadi blunder dan bisa direalisasikan ke masyarakat. [Red]
Discussion about this post