kaltengtoday.com – Jalanan di Kota Kuala Pembuang, Minggu pagi itu, Minggu (9/2/2020), tampak lengang. Waktu baru menunjukan pukul 07.30 Wib dan matahari belum juga bangun dari tidurnya.
Karena hari libur, aktivitas warga pun juga tak terlihat padat. Pegawai kantoran ataupun anak-anak sekolah yang biasa tiap hari ramai, lebih memilih menghabiskan waktu libur mereka bersama keluarga di rumah.
Namun itu tak berlaku bagi Riyani (64). dipagi yang lengang itu ia tampak sedang mendorong sebuah gerobak. Tangan keriput nan legam itu nampak kuat mencekram gagang gerobak agar tetap jalan.
Sambil menghela napas tuanya, keringat yang bercucuran dari kedua keningnya tak jua dihiraukanya.
Ia terus melangkah dan sesekali menatap ketepian jalan, sembari berharap ada barang bekas berupa kardus dan plastik bekas yang bisa dia kumpulkan.
Setiap hari Riyani harus berjibaku menyusuri jalanan kota Kuala Pembuang, tak.peduku terima taulun hujan ia harus terus melangkah demi sesuap nasi.
Wanita perantau asal Jombang, Jawa Timur ini, tiap harinya berjalan mengais kardus dan plastik bekas yang sudah dibuang oleh warga. Barang bekas yang berhasil dia, akan dijual kepada seorang penampung. Hasil penjualan pun tak seberapa.
“Saya menjualnya setengah bulan sekali. Paling besar cuma dapat Rp200 ribu. Tergantung dari banyaknya barang bekas yang dijual,”ujarnya sambil meneguk air putih kemasan.
Dengan hasil yang tak seberapa itu, seringkali ia merasa atak cukup untuk memenuhi kebutuhan di rumah. Tapi ia mengaku tetap bersyukur, karena tidak menganggur, tutur ibu tiga anak ini.
Diapun bercerita, saat jual beli barang hasil memulungnya, oleh penampung hanya dihargai Rp600 perkilogram untuk plastik bekas dan kardus sebesar Rp1.200 perkilogramnya.
“Saat sedang lagi tidak punya uang buat keperluan makan, saya pinjam ke penampung. Begitu barang ini dijual, baru dipotong pinjaman,” tuturnya yang mengaku sudah pekerjaannya selama kurang lebih 7 tahun ini..
Lantaran tak punya pekerjaan lain dengan penghasilan tetap dan menjanjikan, memaksa dia dan suaminya tetap memilih harus menjalani pekerjaan sebagai pemulung.
Keterbatasan ekonomi keluarga, sempat membuat dia dan suaminya pasrah untuk tidak melanjutkan sekolah ketiga anaknya. Alhasil, anak-anaknya hanya mampu mengenyam pendidikan hingga dibangku Sekolah Dasar (SD).
“Ketiga anak saya sekarang sudah menikah. Namun kehidupan di keluarga anak-anak, tak jauh berbeda dengan ibunya. Hanya bekerja serabutan dengan hasil yang pas-pasan,” kata dia.
ia berharap, seiring melangkahkan kaki berangkat meninggalkan rumah untuk memulung sejak pukul 06.30 Wib dan baru pulang sekitar pukul 16.30 Wib, ada secercah harapan baru untuk bisa memperoleh kehidupan yang layak.
“Usia saya ini sudah tua. Tenaga pun tak sekuat dulu lagi untuk mendorong gerobak ini. Namun bagi saya, ini sebuah pilihan hidup. Sebuah pekerjaan yang tetap harus tetap dilakoni untuk tetap bertahan hidup dan berkumpul bersama keluarga,” ungkapnya mengakhiri.
Parnen-KT
Discussion about this post