Kaltengtoday.com, Tamiang Layang – Minuman tuak, yang terbuat dari fermentasi tapai ketan atau beras ketan, memang identik dengan minuman tradisional orang Dayak. Jika ada yang menggunakannya sebagai mabuk-mabukan, tentu itu di luar nilai utama dari arak tersebut.
Dalam beberapa acara adat Dayak Maanyan atau Dayak Lawangan, tuak sering dipakai sebagai identitas kebersamaan, dengan takaran yang hanya sedikit sehingga jauh dari efek pening, apalagi mabuk.
Namun sekarang, mendapatkan tuak tidaklah semudah di jaman dulu. Atau bahkan beberapa tahun lalu. ‘Produksinya dirasakan sudah menurun.
Baca Juga : Â Baram Tuak Khas Suku Dayak Kalimantan Tengah
“Ada, tapi tidak sebanyak, bahkan selezat dulu. Entah kenapa, sekarang, saya sering menemukan arak tapai ketan yang terlalu encer, ada juga yang terlalu banyak gulanya, dan sebagainya,” ujar Siwo, salah seorang warga Kecamatan Dusun Tengah, yang mengaku hendak mencari arak, tadi (Minggu, 18/2/2024).
Sementara beberapa waktu lalu, Daus, pegiat seni tradisional dari Tamiang Layang, Kecamatan Dusun Timur,menyuguhkan arak di acara syukuran sebuah produksi film budaya, dan mendapat pujian karena cita rasa arak tersebut.
“Rasa manis, keras dan porsi cairnya pas benar. Susah cari yang begini,” komentar Toto, pemrakarsa film budaya tersebut.
Toto dan kawan-kawannya memprediksi kelangkaan produksi tuak tradisional sekarang ini, salah satunya adalah sudah tiadanya peracik andal karena faktor usia.
Baca Juga : Â 7 Tradisi Unik Masyarakat Indonesia Menyambut Bulan Suci Ramadan
“Siapapun bisa membuat arak, dan komposisinya juga tak rahasia. Tapi, tidak semua tangan punya hasil rasa yang sama. Dan para peramu arak yang lihai, sudah banyak yang tua atau bahkan wafat, sehingga sekarang jarang membuatnya. Mungkin juga karena lain tangan inilah, ada perubahan rasa dalam tuak yang kebanyakan ada sekarang,” imbuhnya lagi. [Red]
Discussion about this post