kaltengtoday.com, Entertainment – Jika Anda menanyakan gedung bioskop Panala di Palangka Raya ataupun Gundaling di Tamiang Layang, pada generasi sekarang, hampir bisa dipastikan mereka akan menjawab secara serempak “tidak tahu”. Kecuali anak -anak yang pernah mendengar dari orangtua atau kerabatnya, juga mereka yang hobi mengulik informasi.
Sekarang, nyaris tak ada yang tersisa dari gedung tersebut, terkecuali Studio 21 Palangka Raya Mall (Palma). Itupun, agak kurang tepat jika disebut “bioskop rakyat”, karena dari harga tiket masuknya, sudah ketahuan level rakyat mana yang bisa membelinya.
“Lain dengan bioskop Panala Palangka Raya era 90an ke bawah, lalu di Tamiang Layang dan Ampah, yang harga tiketnya benar-benar terjangkau orang tak berduit sekalipun. Semuanya kini memang hanya kenangan, tapi kita belajar tentang bagaimana sejarah dunia hiburan, khususnya perfilman sebagai tontonan untuk rakyat. Yaa, sekarang, HP pun bisa menyajikan film. Praktis. Tapi emosional menontonnya, apalagi beramai-ramai, ya tak bisa menandingi bioskop lah,” komentar Dul, warga Ampah, Kecamatan Dusun Tengah. (Sabtu, 29/07/2023).
Senada dengan Dul, Yoyok Prastyo, seorang blogger yang juga tinggal di Ampah dan pecinta bioskop klasik, mengaku bioskop bukan sekadar jadi wahana masyarakat menyaksikan film saja. Ada unsur interaksi sosial, hiburan serta geliat ekonomi kemasyarakatan di situ.
Baca Juga : Â Warga Berharap Pelaksanaan Bartim Expo 2023 Bisa Sukses Gelarannya
“Selain kalau adegan lucu bisa tertawa bersama, atau bisa merokok dalam gedung, kadang nyolong-nyolong pipis kalau kebelet, gedung bioskop rakyat, khususnya yang kelas D, juga menciptakan geliat UMKM. Lihat orang yang menjajakan barang dagangannya, mengurus parkir, melukis poster dan lain-lain,” papar Yoyok yang dulu juga sering keliling bioskop di daerah Pantura Jateng, untuk meneliti bioskop dari perspektif sosial.
Sekarang, tentu saja di jalan berbeda dengan bioskop yang hanya dapat dinikmati kalangan tertentu saja, gedung bioskop rakyat yang sudah bertumbangan di sekitar tahun 1998an (akibat munculnya VCD dan tak teregulasinya batas tahun film yang boleh ditayang di TV), hanya jadi kenangan.
Baca Juga : Â Polwan Barito Timur Yang Pernah Bintangi Film Itu Meraih Kategori Polisi Berdedikasi dalam Hoegeng Award 2023
“Anak generasi 80 atau 90an seperti saya yang masih menikmati era itu, akan mencatat bioskop sebagai sarana hiburan yang membela kepentingan rakyat jelata.,” Katanya.
Dia Menyebutkan hal itu bisa juga menjadi bagian dari diary perjalanan hidup di mana di situ mungkin ada kisah cinta yang terjalin indah. Tapi yang jelas,adalah mencatat, apalagi di kota-kota yang pernah saya nikmati bioskopnya, antara lain : Salatiga, Kendal, Pekalongan, Tegal, dan Jakarta, berapa banyak dulu tenaga kerja formal ataupun informal yang bisa terserap dari eksisnya bioskop rakyat.
“Mereka harus menangis saat keruntuhan besar ini terjadi. Karena lahan mencari nafkah mereka tak ada lagi. Ditambah resesi ekonomi besar-besaran saat itu,” urainya . [Red]
Discussion about this post