kaltengtoday.com, Tamiang Layang – Kabar konversi gas elpiji 3 kg ke kompor listrik masih hangat jadi perbincangan. Meskipun kabar terbaru, rencana tersebut telah dibatalkan oleh PLN. Tapi mendadak, di Kabupaten Barito Timur, khususnya di Kecamatan Dusun Tengah, tabung hijau mungil ini sejak Rabu (28/9/2022) jadi susah didapatkan.
Mia, seorang IRT di Desa Rodok, malah bercerita kalau anaknya yang dia suruh membeli, sampai harus mencari di Ampah, yang berjarak sekitar 2 Km dari desanya.
“Ya di agen maupun warung-warung Desa Rodok kosong. Anak saya baru menemukannya di sebuah toko penyalur di Ampah. Harganya pun naik jadi Rp 30 ribu. Melonjak Rp 7 ribu dari harga normal,” ujarnya dengan nada sedikit mendongkol.
Baca Juga : Â Lakukan Teknologi Inovasi, Tiga OPD di Bartim Raih Penghargaan
Seorang pedagang yang tak mau disebut identitasnya mengatakan bahwa sudah dua hari ia tak mendapatkan barang. Sehingga dia tak memaksakan diri berjualan gas elpiji sementara waktu. Sampai kembali normal seperti semula.
Hanya saja, dirinya mengaku heran dengan perilaku seorang oknum pedagang warung, yang pernah diketahuinya bisa membeli lebih dari jatah pembelian, di sebuah agen penyalur, beberapa waktu lalu.
“Mohon bapak-bapak dari instansi berwenang dan aparat keamanan mengawasi dengan ketat. Jangan sampai ada oknum yang bisa memborong lebih dari dua tabung. Juga jangan sampai ada oknum pedagang yang sengaja menimbun. Kasihan rakyat kecil. Saya saja mencari untung tipis. Yang penting putaran lancar. Kalau begini kan kita yang pahit,” ujarnya.
Baca Juga : Â Masih Ada Sekolah di Bartim Terkendala Pelaksanaan ANBK
Yang jelas, dalam kenaikan mendadak yang cukup telak ini, menghantam para pedagang kecil,.terutama makanan dan minuman
“Baru saja BBM naik, kita kena imbas. Serba salah mau menaikkan harga. Gorengan naik jadi Rp1.500 saja pasti akan didemo orang, Om!..Apalagi sekarang ditambah harga elpiji melon naik. Nasib rakyat kecil. Jadi himpitan sana-sini,” keluh Musripah, penjual gorengan dan kopi di sekitar Pasar Ampah.
Saat ini, memang tak ada yang bisa dipilih kecuali menerima keadaan (meski disertai omelan jengkel). Para penjual makanan itu hanya bisa memperkecil atau mengurangi ukuran barang dagangannya. Guna mengantisipasi kerugian terlalu banyak. Sesuatu yang menjadi “strategi” mereka demi bisa bertahan hidup dari dagangannya. Bukan untuk bertahan di level dunia bisnis, apalagi demi kepentingan politis. [Red]
Discussion about this post