Kaltengtoday.com, Jakarta (ANTARA) – Pagi akhir Maret 2023 langit Jakarta tampak cerah. Namun, menjelang tengah hari tiba-tiba berubah hujan. Rintik-rintik air hujan pun turun sekitar 30 menit. Tidak lama kemudian matahari kembali muncul dengan terik, bahkan udara terasa gerah.
“Paradoks” dua fenomena cuaca tersebut menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan pola cuaca yang telah mengalami perubahan, karena tak lagi sesuai dengan tipe-tipe cuaca berdasarkan musim.
Penyebab “paradoks” itu bila diteliti dalam waktu lama, karena peningkatan kadar gas rumah kaca (GRK) yaitu bertambahnya jumlah karbon dioksida, nitrogen dioksida, metana dan freon di atmosfer. Peristiwa GRK pada prinsipnya adalah terperangkapnya panas matahari di lapisan atmosfer karena gas-gas tersebut sehingga panas tidak lagi memantul ke luar angkasa.
Dalam kondisi lingkungan normal, keberadaan gas itu memang diperlukan untuk membuat bumi hangat, tapi saat kadarnya berlebih terutama akibat emisi karbon dari kendaraan bermotor dan industri, maka akan memicu peningkatan panas secara global hingga perubahan iklim.
Dengan bahasa yang lebih mudah, mesin cuaca berasal dari matahari yaitu pemanasan. Saat pemanasan tersebut bertambah karena GRK maka siklus hidrologi yang bekerja seperti rantai berputar lebih cepat. Saat mesin berputar lebih cepat maka penguapan di bumi pun makin intens dan penguapan intens itu dapat mengakibatkan hujan yang semakin deras.
Bumi menjadi lebih basah namun sekaligus lebih kering. Musim hujan makin basah, musim kemarau makin kering yang berakibat bencana alam makin banyak.
Pengalaman Denmark
Presiden Joko Widodo dalam pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Tahun 2023 pada 2 Maret mengatakan bahwa pandemi dan perang bukan lagi hal yang ditakuti dunia saat ini, melainkan perubahan iklimlah yang lebih mengerikan dari kedua hal tersebut.
Baca Juga :Â Dewan Imbau Warga untuk Tetap Waspada Terkait Cuaca Tak Menentu
Agar isu perubahan iklim semakin dipahami masyarakat, Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerja sama dengan Kedutaan Besar Denmark di Indonesia mengadakan program “Indonesian Climate Journalist Network” (ICJN) untuk 10 orang jurnalis Indonesia. Harapannya, dapat belajar mengenai perubahan iklim dan solusinya secara khusus dari pengalaman Denmark.
“Denmark menganggap isu perubahan iklim itu seperti agama, walau mereka bukan orang yang sangat religius tapi mereka sangat fokus untuk isu perubahan iklim. Pertumbuhan ekonomi Denmark bisa berlipat ganda tapi konsumsi energi mereka tetap sama atau bahkan berkurang. Hal ini sangat menarik dan bisa menjadi contoh terbaik bagaimana suatu negara menangani krisis iklim,” kata Pendiri dan Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal dalam “workshop” ICJN di Jakarta akhir Maret 2023.
Titik awal Denmark serius menyikapi perubahan iklim adalah saat krisis energi pada 1970. Ketika itu sekitar 80 persen sumber energi Denmark berasal dari minyak bumi, padahal Denmark tidak punya sumber minyak bumi sehingga Denmark sangat menderita.
“Tidak ada mobil di jalanan karena tidak ada bahan bakar. Kami pun berupaya untuk mengganti bahan bakar dari minyak ke gas alam, lalu akhirnya ke energi terbarukan seperti energi surya dan angin,” kata Kepala Kerja Sama Sektor Energi Kedutaan Besar Denmark di Indonesia August Axel Zachariae dalam acara yang sama.
Di Denmark, lebih dari 60 persen sumber energi berasal dari angin dan matahari karena kedua jenis energi tersebut dapat diperoleh di dalam negeri tanpa perlu mengimpor.
Sejak tahun 1990 sampai 2020, Denmark juga sudah mengurangi konsumsi energi sebesar 15 persen meski Gross Domestic Product (GDP) juga meningkat hingga 62 persen, dan pada saat yang sama Denmark dapat mengurangi emisi GRK sebesar 51 persen.
Bagaimana cara Denmark melakukannya? Menurut Zachariae, pada 1980, listrik di Denmark masih bergantung pada pembangkit-pembangkit listrik besar pemerintah. Pemerintah lalu membolehkan penggunaan maksimal produksi energi terbarukan oleh publik sehingga masyarakat dapat menggunakan pembangkit listrik miliknya sendiri. Dampaknya adalah penggunaan bahan bakar fosil berkurang dan efisiensi energi meningkat.
Baca Juga :Â Cuaca Terik Matahari Sinari Kota Palangka Raya, Pemerintah Diminta Waspada Karhutla
Desentralisasi itu dilakukan karena Denmark mengalami dampak dari perubahan iklim dengan mencairnya es di Greenland (masih bagian dari Denmark) sehingga meningkatkan permukaan air laut.
Mencairnya es di Greenland itu karena kenaikan suhu bumi. Suhu bumi pada 2011-2020 sudah meningkat 1,09 derajat Celcius dibanding suhu pada periode 1850-1900. Empat dekade terakhir kenaikan suhu bumi bahkan lebih cepat dibanding sebelum 1850.
Di Denmark, kata Zachariae, ada undang-undang (UU) khusus mengenai iklim yang menjadi dasar setiap pemerintahan dapat mengambil kebijakan yang mempertahankan penerapan energi terbarukan sekaligus memberikan dukungan anggaran.
Siklus pembahasan anggaran dimulai pada Februari tahun anggaran berjalan, yaitu Dewan Iklim (Climate Council) memberikan rekomendasi kepada pemerintah. Lalu, pada April Danish Energy Agency (DEA) menyerahkan “climate status” dan proyeksi iklim. Selanjutnya pada September pemerintah mengajukan program baru energi dan kemudian diproses berdasarkan UU Keuangan. Pada Desember barulah program dan anggaran itu dibahas di parlemen.
“Denmark adalah negara dengan pemerintahan yang kompromistis dan berupaya untuk merangkul berbagai masukan. Meski awalnya sulit untuk membuat rencana jangka panjang khusus untuk transisi energi, karena berdasarkan proyeksi tahun-tahun ke depan, tapi dari proyeksi itulah kami mengkaji apa yang sudah kami capai saat ini. Lalu, kami menghitung sejauh mana perbedaan antara proyeksi dan pencapaian sekarang. Dari perhitungan itu muncul kebijakan-kebijakan untuk menutup ‘gap’ antara target dan capaian saat ini,” jelas Zacharie.
Zacharie menyebut dalam pembahasan anggaran, pemerintah berpaya untuk mengikutsertakan berbagai pihak termasuk asosiasi industri, NGOs (non-governmental organizations), media maupun pakar independen dalam pembahasan.
“Tujuan kami satu yaitu kami bertanggung jawab kepada generasi mendatang yang akan mendiami bumi ini. Saya pikir setiap agama juga mewajibkan penganut agama tersebut untuk menjaga bumi sebagai tempat tinggal yang nyaman bagi manusia dan tentu itu hal itu menjadi bagian spiritualitas kami,” ungkap Zacharie.
Progres Indonesia
Pemerintah Indonesia juga sedang bekerja dalam melakukan transisi energi, misalnya dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang mencakup Pembangkit Listrik Tenaga Air, Panas Bumi, Surya, Bayu, Biomassa, Biogas, Tenaga Air Laut, dan Bahan Bakar Nabati.
Peraturan tersebut sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk menurunkan Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri atau 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030 sesuai Nationally Determined Contributions (NDCs) sedangkan untuk Net Zero Emission (NZE) sektor energi ditargetkan akan dicapai pada 2060 atau lebih cepat.
Spesialis Bidang Komunikasi Iklim Yayasan Indonesia CERAH, Arie Rostika Utami, dalam acara yang sama mengakui bahwa meski pemerintah sudah menetapkan target, tapi isu perubahan iklim bagi masyarakat Indonesia kebanyakan masih isu yang “di awang-awang”.
Baca Juga :Â Sikapi Perubahan Iklim, Pemerintah dan Komunitas Kemasyarakatan Sama-sama Bergerak
“Padahal, kalau rumahmu sudah kebanjiran atau sebaliknya muncul kekeringan, kamu baru mengatakan terjadi perubahan iklim? Sebenarnya setiap saat terjadi dampak dari perubahan iklim,” kata Arie.
Dampak dari perubahan iklim dan bahkan dapat berkembang menjadi krisis iklim yaitu terjadi situasi kritis dari perubahan iklim dapat mengakibatkan peningkatan suhu global, perubahan pola cuaca, kenaikan permukaan laut dan kerusakan ekosistem.
Indonesia menjadi salah salah satu pihak yang menandatangani Perjanjian Paris pada 12 Desember 2015 dan mulai berlaku pada 4 November 2016 agar membuat kebijakan dan aksi iklim demi mencegah suhu bumi tidak melebihi 2 derajat Celsius. Hal tersebut bahkan telah diratifikasi dalam hukum nasional melalui UU Nomor 16 Tahun 2016.
Pada konferensi iklim PBB COP26 di Glasgow, Skotlandia, para pemimpin dunia juga menyepakati perlunya membatasi pemanasan global menjadi 1,5 derajat Celcius pada 2060.
Sayangnya, komitmen dari para pihak melalui Komitmen Kontribusi Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC) itu belum cukup ambisius. Walhi menyebut justru NDC dari seluruh negara termasuk Indonesia mengarah pada meningkatnya suhu bumi mencapai 3-4 derajat Celcius.
“‘Baseline’ Indonesia dalam penurunan emisi masih belum jelas karena target penurunan GRK diambil berdasar prediksi kenaikan pertumbuhan ekonomi yang diprediksi. Padahal, pertumbuhan ekonomi bisa naik dan turun. Jadi, saat pemerintah tidak melakukan apa-apa untuk mengurangi GRK bisa saja GRK berkurang karena kondisi ekonomi melemah,” ungkap Arie.
Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, Indonesia berkomitmen untuk memensiunkan 9,2 Gigawatt Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batu bara pada 2030. Lalu, 50 persen kapasitas pembangkit listrik Indonesia berasal dari energi terbarukan pada 2030 termasuk energi matahari, angin, air, geotermal dan Bioenergy with Carbon Capture & Storage (BECCS) yaitu pemanfaatan limbah organik pertanian untuk memproduksi energi.
Pemerintah juga menargetkan bauran energi nasional dari Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025 meski sejak 2018 hingga 2021, posisi Indonesia hanya mampu mencapai 11,5 persen.
Salah satu upaya pengurangan emisi, pemerintah pun mendorong penggunaan kendaraan listrik (electronic vehicle atau EV), namun Arie menyebut butuh kebijakan lanjutan dibanding hanya memasarkan EV ke publik.
Baca Juga :Â Walhi Kalteng Nilai Bencana Banjir di Kalteng Saat Ini Dampak Krisis Iklim
“Karena apapun yang baru di Indonesia, publik pasti akan menyambut, termasuk kendaraan listrik tapi pemerintah perlu menjelaskan ke publik yaitu dengan pertambahan kendaraan pribadi termasuk kendaraan listrik tentu akan menambah kemacetan, jadi bagaimana kalau EV diprioritaskan untuk transportasi publik? Harus ada perspektif lain selain jualan mobil listrik,” ucapnya.
Selain itu, pembahasan mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) Perubahan Iklim juga perlu dikawal dalam masa sidang 2023 dan 2024 karena hingga saat ini naskah akademik masih ada di badan legislatif.
“Yang diharapkan adalah transparansi Baleg dalam pembuatan naskah dan harus ada target yang pasti di dalam RUU tersebut,” kata Arie.
Partisipasi publik
Untuk meningkatkan partisipasi publik media juga perlu memberitakan isu perubahan iklim dari berbagai sudut pandang. Bukan hanya menunjukkan dari sisi lingkungan atau ekonomi tapi juga bisa memotret gaya hidup ramah lingkungan yang mulai banyak diterapkan para “public figure”.
“Bukan soal cerita menakut-nakuti misalnya terjadi bencana alam, walau hal itu juga benar tapi bagaimana media juga mengangkat solusi-solusi dari komunitas-komunitas kecil yang perlu diapresiasi,” kata Arie.
Belajar dari Denmark, Zacharie menyebut soal iklim dan transisi energi sudah menjadi bagian identitas nasional Denmark sehingga dipelajari juga di sekolah-sekolah negeri di Denmark.
Industri Denmark juga menempelkan stiker ke barang-barang elektronik produksinya soal berapa persen energi yang dihemat dari penggunaan barang-barang tersebut, dan berapa lama produk itu bisa lebih awet pemakaiannya dengan menggunakan energi terbarukan. Tidak ketinggalan untuk mengawal kebijakan energi di pemerintahan, ada lembaga teknis yang independen tidak diisi orang partai politik.
“Namun kunci transisi energi tetap dalam pelaksanaan. Kami tidak fokus ke ‘last miles’ tapi ke ‘first miles’, artinya harus ada yang dikerjakan bukan hanya dibicarakan saja. Begitu transisi energi diterapkan sebenarnya harga energi terbarukan juga makin kompetitif. Indonesia sudah membuat aturan-aturan tersebut, sekaranglah waktu penerapannya,” kata Zacharie.
Kini saatnya berpartisipasi dalam transisi energi. (Red/Antara)
Discussion about this post