Di perlukannya Manajemen konflik tidak hanya melibatkan tindakan pencegahan, tetapi juga strategi transformasional untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi semua penghuni lapas.
Baca Juga : Â Lurah Panarung Ajak Masyarakat dan Generasi Muda Memerangi Peredaran Narkoba
Realitas Peredaran Narkoba di Lapas
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memberantas peredaran narkoba, terutama di lembaga pemasyarakatan. Menurut data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), sebagian besar kasus penyelundupan narkoba di lapas melibatkan jaringan internasional yang menggunakan berbagai cara untuk menyelundupkan barang haram tersebut.
Penyuapan, pemerasan, dan korupsi menjadi modus operandi yang kerap ditemukan dalam mengendalikan peredaran narkoba di dalam lapas. Selain itu, peredaran narkoba di lapas sering kali didalangi oleh narapidana yang memiliki peran sebagai pengendali atau penghubung dengan jaringan luar. Situasi ini semakin diperparah oleh adanya oknum petugas yang terlibat dalam penyelundupan. Fenomena ini menciptakan konflik yang kompleks dan berkelanjutan di dalam lapas, di mana narapidana yang ingin bertobat dan menjalani rehabilitasi sering kali terperangkap dalam situasi yang sulit untuk dihindari.
Pendekatan Manajemen Konflik Tradisional
Manajemen konflik di lapas tradisional sering kali berfokus pada tindakan represif, seperti penggeledahan mendadak, pengetatan pengawasan, dan pemindahan narapidana yang terlibat dalam jaringan narkoba. Meski efektif dalam jangka pendek, pendekatan ini sering kali gagal menciptakan perubahan yang berkelanjutan. Narapidana dan jaringan narkoba terus mencari celah dan metode baru untuk melanjutkan aktivitas ilegal mereka.
Pendekatan tradisional ini juga cenderung menciptakan ketegangan antara petugas dan narapidana, yang bisa berujung pada konflik terbuka. Kurangnya kepercayaan dan kerjasama antara kedua belah pihak membuat upaya pemberantasan narkoba semakin sulit. Selain itu, tindakan represif tanpa upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang memadai bisa berdampak negatif pada proses rehabilitasi narapidana.
Baca Juga : Â 10 Tersangka Tindak Pidana Peredaran Narkoba Berhasil di Amankan Polresta Palangka Raya Sejak Awal Tahun
*Transformasi Manajemen Konflik : Pendekatan Humanis dan Inklusif*
Menghadapi tantangan ini, diperlukan transformasi dalam manajemen konflik di lapas dengan pendekatan yang lebih humanis dan inklusif. Transformasi ini bisa dimulai dengan memperkuat integritas dan profesionalisme petugas lapas. Pelatihan berkelanjutan tentang etika kerja, pengawasan internal yang ketat, serta insentif yang memadai untuk petugas yang menunjukkan kinerja baik dapat mengurangi risiko keterlibatan mereka dalam peredaran narkoba. Selain itu, penting untuk membangun lingkungan yang mendukung rehabilitasi narapidana. Program-program rehabilitasi yang komprehensif, termasuk konseling psikologis, pelatihan keterampilan, dan kegiatan produktif, dapat membantu narapidana melepaskan diri dari jaringan narkoba. Pendekatan ini juga harus melibatkan partisipasi aktif dari narapidana dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan mereka di dalam lapas.
Kolaborasi Multi-Stakeholder
Transformasi manajemen konflik juga memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan komunitas lokal. Pemerintah perlu memperkuat kerjasama dengan BNN dan aparat penegak hukum untuk memutus jaringan narkoba yang beroperasi di dalam lapas. Sementara itu, LSM dapat berperan dalam menyediakan program-program rehabilitasi dan mendukung reintegrasi sosial narapidana setelah mereka bebas. Partisipasi komunitas lokal juga penting dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi mantan narapidana untuk kembali ke masyarakat. Stigma dan diskriminasi sering kali menjadi penghalang utama bagi mantan narapidana untuk memulai hidup baru. Oleh karena itu, kampanye edukasi dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya memberikan kesempatan kedua bagi mantan narapidana perlu digalakkan.
Discussion about this post