Temuan ini sejalan dengan laporan Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara pada tahun 2023 yang menyebutkan bahwa setidaknya 632.133,96 ha kelapa sawit telah terbangun di dalam kawasan hutan Provinsi Kalteng.
Pada aspek sosial juga ditemukan bahwa tuntutan masyarakat atas plasma, jaminan pekerjaan dan upah yang layak serta jaminan kesehatan sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat masih belum sepenuhnya dipenuhi dan konflik yang muncul tidak diselesaikan secara tuntas.
Baca Juga :Â Walhi Kalteng Tanggapi Pengampunan Kejahatan Lingkungan PBS Sawit oleh Pemerintah
Kartika Sari, Direktur PROGRESS menyebutkan bahwa dalam periode tiga tahun terakhir ini isu plasma semakin memanas karena masih banyak masyarakat merasa belum hidup sejahtera meskipun tinggal di sekitar Perkebunan Sawit selama bertahun tahun.
Masyarakat juga merasa harusnya dengan hadirnya investasi mereka bisa hidup sejahtera. Sayangnya, tidak hanya plasma yang tidak diberikan tetapi sebagian dari masyarakat justru menjadi buruh harian lepas yang di upah di bawah UMK, tidak diberikan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.
Selain itu, masyarakat yang merasakan dampak secara langsung atas kehadiran perkebunan sawit. Maka pendekatan yurisdiksi akan tepat sasaran jika didasarkan atas persoalan-persoalan nyata yang muncul di masyarakat dan pelibatan masyarakat secara aktif baik dalam prosesnya maupun dalam pelaksanaannya.
Abdul Haris Kepala Departemen Advokasi dan Pendidikan Publik TUK INDONESIA menyebut bahwa ada sejumlah kasus konflik yang kerap berulang di Seruyan yang melibatkan perusahaan perkebunan kelapa sawit dan warga.
“Warga yang tanahnya diambil oleh pihak perusahaan tanpa proses FPIC di masa lalu, terlibat konflik berkepanjangan. Pada akhirnya konflik berulang seperti Itu, akan berakhir dengan penangkapan petani oleh kepolisian dan paling buruk adanya korban jiwa seperti yang terjadi pada Almarhum Gijik di Desa Bangkal pada Oktober 2023 yang lalu.
Abdul juga menyoroti peran lembaga keuangan yang lemah dalam pengawasan pembiayaan yang beresiko dari sisi lingkungan dan pelanggaran HAM.
“Sektor perkebunan kelapa sawit adalah sektor memiliki peran besar dalam menyumbang percepatan perubahan iklim. Jika sektor pembiayaan tidak memiliki pengawasan yang lebih baik maka kasus, seperti di Kabupaten Seruyan dapat terjadi ditempat lain,” ujarnya.
Serupa dengan itu, dia juga menekankan, perusahaan pembeli minyak sawit seperti Nestle, Unilever, P&G dan Fuji Oil yang membeli minyak sawit sejumlah perusahaan di Seruyan juga memiliki resiko tinggi terpapar produk mereka dari kelapa sawit yang diduga melanggar lingkungan hidup dan kasus-kasus pelanggaran ham
Baca Juga :Â Walhi Kalteng Nilai Bencana Banjir di Kalteng Saat Ini Dampak Krisis Iklim
Memahami kerja perkebunan kelapa sawit berkelanjutan tidak dapat dipisahkan dengan peran lembaga sertifikasi RSPO Terbaru mereka membuat uji coba sertifikasi yurisdiksi yang mengabaikan peran serta masyarakat Djayu dari YMKL menyampaikan bahwa prinsip dan Kriteria RSPO dalam sistem sertifikasi sawit sejauh ini tidak menunjukkan efektifitasnya dalam melindungi hak hidup masyarakat adat dan komunitas lokal.
Konflik baru bertambah sementara konflik lama tak kunjung tuntas karena P&C tak mampu memberikan dampak bagi perubahan perilaku sektor bisnis perkebunan sawit. Perampasan hak atas tanah dan ruang hidup serta kerusakan lingkungan masih terus terjadi,” tutupnya.[Red]
Discussion about this post