Di sisi lain, penanganan tindak pidana korupsi oleh Institusi Kejaksaan sudah maksimal dalam upaya pengembalian kerugian negara. Sebab, ditenggarai dengan keberhasilan kejaksaan mengungkap dan menangani kasus-kasus korupsi besar seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Bailout Bank Century, Asuransi Jiwasraya dan Asabri, dan yang terbaru Korupsi Tata Kelola Timah yang mengakibatkan kerugian negara lebih dari Rp300 triliun.
Ia menegaskan, upaya tersebut sejalan sebagaimana amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kewenangan fundamental yang dimiliki oleh Kejaksaan adalah melakukan kegiatan penelusuran, perampasan, dan pengembalian aset perolehan tindak pidana dan aset lainnya kepada negara, korban, atau yang berhak.
Oleh karena itu, parameter keberhasilan kejaksaan dalam menangani tindak pidana korupsi juga tercatat dengan jumlah pengembalian keuangan negara yang besar.
Pada tahun 2023 lalu, total pengembalian aset yang dilaksanakan oleh Kejaksaan mencapai Rp4.467.944.903.697 (empat triliun empat ratus enam puluh tujuh milyar sembilan ratus empat puluh empat juta sembilan ratus tiga ribu enam ratus sembilan puluh tujuh rupiah).
“Capaian tersebut memperjelas peran institusi kejaksaan dalam hal pemulihan aset di dalam sistem peradilan pidana terpadu menjadi sangat krusial, baik ditinjau dari kesejahteraan negara sampai dengan terangkatnya derajat penegakan hukum Indonesia khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi,” tegasnya.
Jaksa Agung mengungkapkan salah satu tantangan terbesar dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi adalah proses penyitaan aset yang berada di luar yurisdiksi Indonesia.
Lebih lanjut, kesulitan terbesar para penegak hukum dalam mengejar aset yaitu diperlukannya perizinan birokrat yang membuat penegakan hukum menjadi lambat.
“Perlu kita cermati bersama, dalam proses penegakan hukum pro justicia berdasarkan hukum acara, Kementerian Hukum dan HAM tidak mengambil bagian di dalam-nya, sehingga hal ini menjadi kendala bagi Kementerian Hukum dan HAM,” tuturnya.
Hal ini di karenakan, tidak mengetahui secara rinci substansi kasus posisi suatu perkara padahal mereka diposisikan sebagai central authority perampasan aset, hal ini pada akhirnya berdampak pada terhambatnya proses perampasan aset.
Discussion about this post