Kaltengtoday.com, Kuala Kurun – Jajaran Pengadilan Negeri (PN) Kelas II Kurun, Kabupaten Gunung Mas (Gumas) mengelar kegiatan rapat koordinasi dan focuss group discussion (FGD) bersama unsur terkait. Hal itulah, untuk membahas implementasi sistem praperadilan pidana terpadu berbasis teknologi informasi (SPPT-TI) dan penguatan restorative justice untuk aparat penegak hukum di wilayah kabupaten tersebut.
Wakil Ketua PN Kurun Ega Saktiana mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat, sehingga terlaksananya Rakor. Dengan harapan rapat tersebut benar-benar dapat memberikan kontribusi dan manfaat bagi peningkatan kinerja masing-masing lembaga yakni aparat penegak hukum.
“Terdapat dua substansi topik penting dalam Rapat Koordinasi ini, yakni satu pelaksanaan SPTT-TT dan dua penerapan restorative justice, ini sebagai wujud implementasi Perpres Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi dalam bidang penegakan hukum melalui SPTT-TI dan Nota Kesepahaman antara Mahkamah Agung RI,” ucap Ega Shaktiana, Rabu (22/9).
Selain itu, kata dia, nota kesepahaman dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI, dengan Kepolisian Negara RI, dengan Kejaksaan RI, dengan Kementerian Hukum dan HAM RI
dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi RI, dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembanguan Nasional, dengan Lembaga Sandi Negara Nomor M.HH-03.HM.05.02 Tahun 2016 tentang Pengembangan Sistem Data Base Penanganan Perkara Tindak Pidana secara Terpadu Berbasis Teknologi Informasi.
“Maka atas dasar inilah, agenda dalam rapat SPPT-TI dilaksanakan, untuk membahas penjelasan fitur dan mekanisme pertukaran data SPPT-TI antar Aparat Penegak Hukum di Gumas ini,” ujarnya.
Terlebih lagi, lanjutnya, substansi topik kedua pentingnya dalam rangka penegakan hukum pidana yaitu penerapan Restorative Justice yang mengandung nilal partisipasi penuh dan konsensus yang didalamnya
terdapat usaha untuk memulihkan kerusakan atau kerugian yang ada akibat terjadinya tindak pidana, serta dimana pertanggungjawaban pemulihan tersebut. Sehingga akan dibebankan kepada pelaku secara utuh.
“Konsep ideal yang terkandung dalam Restorative Justice senyatanya, telah karib dikenal di tengah masyarakat. Maka masih kentalnya nilal kolektivisme di lingkungan local wisdom. Restorative Justice diperlukan dalam sistem peradilan di Indonesia disebabkan fenomena lambatnya penyelesaian perkara, sehingga menumpuknya perkara di pengadilan,” jelasnya.
Baca Juga :Â Sinergikan Pembangunan, DPMD Gumas Adakan Rakor
Di samping itu, sambung dia, masyarakat juga merasakan sistem penegakan hukum saat ini belum memenuhi rasa keadilan serta sistem peradilan pidana di Indonesia yang cenderung masih punitive atau menghukum berat. Karena itu, Restorative Justice diharapkan dapat diterapkan secara masif oleh pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.
Mengingat di LP, yang over capacity atau melebihi batas kapasitas, Keadaan ini digambarkan sebagai salah satu bentuk kegagalan model penyelesaian pidana konvensional yang dianggap tidak mampu menghentikan atau setidak-tidaknya mengurangi secara signifikan terjadinya tindak pidana, dan akibat itu lonjakan penghuni LP pemasyarakatan, dan maka dampak kepada tingginya biaya konsumsi para narapidana.
Baca Juga :Â Sekda Seruyan Buka Rakor Evaluasi Penerimaan PAD
“Namun demikian penerapan penyelesaian secara Restorative Justice tidak boleh semata-mata disebabkan karena LP, melebihi batas kapasitas. Jika ini yang terjadi, justru akan mengecilkan arti dan tujuan dari Restorative Justice itu sendiri. Utamanya penerapan Restorative Justice adalah untuk mengembalikan roh dan tujuan pemidanaan yakni kepentingan manusia sebagai subjek,” pungkasnya. [Red]
Discussion about this post