Kaltengtoday.com, Palangka Raya – Beredarnya penolakan dari berbagai latarbelakang kalangan terhadap kehadiran komunitas Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Kalimantan Tengah, menurut pakar hukum tata negara yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya (UPR) Hilyatul Asfia, SH, MH, adalah hal yang wajar.
Karena menurut dia, LGBT seyogianya bertentangan dengan Hukum Positif Indonesia.
Dosen yang berhasil meraih predikat terbaik dalam Latsar CPNS Angkatan XXV menuturkan, LGBT merupakan perilaku penyimpangan sosial yang tidak sesuai dengan norma, moral, etika, agama, dan nilai yang dianut di tengah-tengah masyarakat.
Baca juga: Pasangan LGBT Terciduk Polisi Saat Memadu Kasih Di Kawasan Pelabuhan Plamboyan Bawah
“Adapun pertentangan terhadap penyimpangan ini juga diatur dalam Pasal 292 KUHP yang menyatakan larangan terhadap orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis kelamin yang diketahuinya atau sepatutnya diduganya belum dewasa,” beber Asfia.
Adapun merujuk pada konsepsi hukum positif ini diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. “Perkawinan pada Pasal 1 UU No.1/1974 itu menyatakan hanya antara laki-laki dan perempuan, yang artinya secara tidak langsung menegaskan bahwa perkawinan sejenis bertentangan dengan hukum Indonesia,” jelas dia.
Selain itu, sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila, dalam hal ini, seluruh kehidupan bangsa Indonesia harus didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam lima sila, dimana sila pertama yakni Ketuhanan yang Maha Esa, harus dimaknai sebagai karakter yang mendahului dan pijakan dari sila lainnya.
“Pada tataran ini, terlihat jelas bahwa ketentuan agama secara jelas tidak mengakomodir LGBT yang bertentangan dengan kodrat manusia,” tukas dia.
Baca juga: Terciduk, Pasangan Gay Diamankan Polisi
Lebih lanjut dikatakan Asfia, bilamana dikatakan bahwa LGBT merupakan bentuk pemenuhan hak azasi manusia (HAM), maka sejatinya pengakomodiran HAM di Indonesia juga memiliki batasan batasan yang telah diatur dalam konstitusi. Yaitu meliputi bentuk pengakomodiran HAM yang tidak bertentangan dengan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum.
“Oleh karena itu, aktualisasi nilai-nilai agama yang terpatri secara jelas dalam Sila Pertama mewujudkan pemenuhan nilai agama yang harus dipatuhi menjadi penjaga sendi-sendi konstitusi dalam mewujudkan kehidupan demokratis bangsa Indonesia,” pungkas Hilyatul Asfia. [Red]
Discussion about this post