Kaltengtoday.com, Lifestyle – Tren thrift shopping alias berburu baju bekas sudah jadi bagian dari gaya hidup anak muda. Dari nongkrong di kafe sampai outfit ke kampus, pakaian “secondhand” kini bukan sekadar alternatif hemat, tapi juga simbol eco-conscious lifestyle.
Namun di balik tren yang keren ini, muncul isu rencana Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa untuk mem-blacklist importir pakaian bekas ilegal atau yang dikenal sebagai balpres.
Langkah ini bukan tanpa alasan. Menkeu menilai praktik impor pakaian bekas ilegal telah merugikan negara dan mengganggu industri tekstil dalam negeri.
“Kalau dia pernah main balpres, saya akan blacklist. Nggak boleh impor barang-barang lagi,” tegasnya dalam wawancara dengan media nasional. Pemerintah ingin memastikan rantai pasok fesyen Indonesia lebih bersih, adil, dan berpihak pada pelaku usaha lokal.
Balpres: Murah, Tapi Ada Harga di Baliknya
Istilah balpres berasal dari kata “bale press”, yaitu pakaian bekas impor yang dikemas dalam karung besar. Barang-barang ini biasanya datang dari luar negeri tanpa izin resmi, dan dijual murah di pasar atau online.
Baca Juga : Kalimantan Masuk Zona Panas Ekstrem, Begini Cara Lindungi Diri dari Teriknya Matahari
Masalahnya, kegiatan impor ini masuk kategori ilegal, karena tidak melalui uji kelayakan dan bisa berdampak pada industri tekstil nasional. Selain itu, sebagian pakaian bekas yang beredar bisa mengandung zat kimia berbahaya atau tidak memenuhi standar kebersihan.
Di sisi lain, permintaan terhadap pakaian thrift terus naik, terutama di kalangan Gen Z. Alasannya karena unik, affordable, dan sustainable.
Siapa sih yang nggak mau tampil keren dengan harga hemat sambil merasa peduli lingkungan? Tapi di sinilah dilema muncul, antara being stylish dan being legal.
Thrift Culture dan Kesadaran Gaya Hidup Berkelanjutan
Budaya thrift berkembang pesat karena anak muda makin sadar bahwa fast fashion punya dampak besar terhadap limbah tekstil dan polusi. Dengan membeli baju bekas, mereka bisa reduce waste sekaligus mendapatkan gaya vintage yang “one of a kind”.
Namun, ketika sebagian besar barang thrift ternyata berasal dari jalur impor ilegal, tren ini bisa kehilangan makna keberlanjutannya. Karena sejatinya, thrift bukan hanya soal murah dan estetik, tapi juga tentang ethical fashion, membeli secara sadar tanpa mendukung praktik ilegal.
Kebijakan Menkeu untuk menindak importir balpres ilegal seharusnya jadi wake-up call bagi para pecinta thrift. Bukan untuk mematikan tren, tapi agar semua pihak lebih bijak dan transparan.
Baca Juga : Dari Batik Skena hingga Sneakers Kekinian: Cara Gen Z Tetap Stylish Peringati Hari Batik Nasional 2025
Berikut beberapa cara agar kamu tetap bisa tampil “clean & conscious” tanpa kehilangan gaya:
- Cek sumber barang – Pastikan toko thrift yang kamu beli punya izin resmi atau ambil barang dari sisa stok lokal, bukan dari impor ilegal.
- Mix thrift dengan produk lokal – Padukan pakaian secondhand dengan karya desainer lokal. Support small businesses is the new cool.
- Mindful fashion – Belanja karena butuh, bukan karena FOMO. Fewer clothes, better quality.
- Share the awareness – Edukasi teman-teman kamu soal perbedaan thrift legal dan balpres ilegal. Fashion bisa jadi cara menyuarakan hal baik.
Kebijakan pemerintah untuk mem-blacklist importir pakaian bekas ilegal bukan sekadar aturan dagang, tapi ajakan untuk menciptakan ekosistem fesyen yang lebih adil dan berkelanjutan.
Baca Juga : Mengenal “Kalcer”: Gaya Hidup dan Identitas Anak Muda Kekinian
Bagi anak muda, ini saatnya melihat thrift bukan cuma sebagai tren, tapi sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Karena, let’s be real, looking good means nothing if it harms others.
Jadi, yuk, tetap thrift dengan cara yang benar… stay stylish, stay smart, and stay ethical.[Red]














Discussion about this post