Kalteng Today – Palangka Raya, – Tak terhitung media massa digital maupun elektronik yang memberitakan kematian saat pandemi Covid-19
Dan berita-berita itu seakan-akan mengkonstruk kepala setiap orang yang membaca dan menontonnya bahwa abad 21 ini merupakan abad horor yang mengerikan
Berdasarkan data global, total kasus manusia terpapar Covid-19 di pelbagai belahan dunia per 16 Juli 2021 mencapai angka yang bombastis, yaitu 189 juta kasus dengan jumlah kematian mencapai 4,07 juta jiwa. RI berada di urutan ke 15 setelah Polandia.Total kasus Covid-19 di RI hingga hari ini berjumlah 2,73+56.757 juta kasus. Rincian 2,18+19.049 juta jiwa sembuh dan 70.192+982 jiwa meninggal dunia.
Jumlah ini setidaknya, menunjukan kepada kita banalitas intelektual yang terjadi dalam tatanan Pemerintah RI dan sikap bebal pada banyak (banyak, tidak semua) masyarakat yang mengabaikan bahaya Covid-19 dan inkonsistensi penerapan protokol kesehatan.
Kompas.com menerbitkan berita yang bertajuk “Indonesia Disebut Episentrum Baru Covid-19 di asia, Epidemiolog Soroti Kebijakan yang Belum Selesai” per 15
Juli 2021 yang menitikberatkan perhatian kepada pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang dianggap belum maksimal oleh Epidemiolog dari Universitas airlangga (Unair), Windhu Purnomo, karena banyak indikator menyebutkan bahwa Indonesia masih tertekan.
Sementara itu, dalam aturan PPKM Darurat tidak ada larangan mobilitas masyarakat. Yang ada hanyalah syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika melakukan perjalanan. Hal itu, baginya, tidak memiliki fungsi untuk meminimalisir penyebaran Covid-19.
Terlepas dari penilaian tersebut, sosok yang kini menjadi sorotan publik dan dunia adalah inkonsistensi pernyataan dari seorang pejabat pemerintah Indonesia terhadap upaya memerangi Covid-19. Di beberapa pemberitaan, dia menyatakan bahwa kondisi Covid-19 di Indonesia “terkendali”.
Akan tetapi, ketika muncul pemberitaan tentang lonjakan Covid-19 di Indonesia, dia kemudian memberikan pernyataan bahwa Covid-19 di Indonesia “tak terkendali”. Tidak lama kemudian, muncul lagi pernyataanya yang mengatakan bahwa “pemerintah sudah menyiapkan skenario terburuk”.
Apakah Pemerintah RI sama sekali tidak mampu? Atau, bagaimana? Tidak adanya transparansi informasi menyebabkan masyarakat gagap dan kehilangan acuan kepercayaan.
Kita dapat mendedah kenapa pejabat pemerintah itu mengalami inkonsisten tersebut menggunakan ilmu bahasa (linguistik). Dia telah menggunakan apa yang disebut dengan Politik Bahasa – sub bidang keilmuan linguistik.
Dalam Politik Bahasa, ada yang namanya eufisme atau penghalusan kata. Misal, kata “menyuruh” jadi “minta tolong”.
Dalam konteks pernyataan tentang “terkendali”, “tak terkendali”, dan “pemerintah sudah menyiapkan skenario terburuk” merupakan banalitas intelektual Pemerintah RI dalam memerangi Covid-19. Pemerintah RI sebenarnya sudah menyerah memerangi Covid-19?
Untuk menganalisa lebih dalam banalitas intelektual yang dilakukan pejabat pemerintah itu sebaiknya kita gunakan analisis wacana kritis agar dapat membongkar apa yang sebenarnya maksud dari inkonsistensi pernyataannya terkait upaya wacana “pemerintah sudah menyiapkan skenario terburuk”.
Akan tetapi, yang perlu digaris bawahi, upaya memerangi Covid-19 bukan semata-mata dilakukan pemerintah saja, kesadaran kolektif tenaga kesehatan dan masyarakat juga memiliki peranan penting dalam konteks yang sama.
Mari kita pelajari kebijakan PPKM Darurat yang dianggap mampu meminimalisir penyebaran Covid-19, ternyata berdampak ke pelbagai sektor ekonomi mikro maupun makro sehingga menyebabkan pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan tumbuh lamban atau malah terancam terpuruk. Bantuan sosial yang digadang-gadang akan menciptakan perputaran ekonomi, terbukti gagal dan menyebabkan ketergantungan dalam individu masyarakat terhadap bantuan sosial.
Pada akhirnya, “rakyat bantu rakyat” menjadi solusi konkret yang dapat dilakukan.
Kasus terbaru adalah ketika salah seorang oknum Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP), Gowa, Sulawesi Selatan, melakukan tindak kekerasan terhadap sepasang suami-istri pemilik kedai kopi. Meskipun kasus tersebut sudah ditangani pihak kepolisian, tetapi traumatik yang dialami pasangan suami-istri tersebut .
Apalagi baru diketahui bahwa istri pemilik kedai kopi tersebut sedang mengandung sembilan bulan dan mengalami kontraksi ketika dipukul – menjadi pusat perhatian masyarakat, sehingga memunculkan anggapan bahwa kekerasan diperbolehkan dalam pelaksanaan PPKM Darurat.
Baca juga : Realisasi Anggaran Penanganan Covid-19, Akumulatif Kabupaten Kota
Benang merah yang dapat kita tarik dalam kasus tersebut adalah bahwa Pemerintah RI dan petugas PPKM Darurat sama-sama menciptakan teror psikologi di tengah kekhawatiran dan ketakutan individu masyarakat terhadap ketidakpastian keberlangsungan hidup mereka. Jadi, pernyataan Luhut di atas tidak lain dan tidak bukan hanyalah suatu keniscayaan belaka.
Terlebih, bahwa masyarakatlah yang tersub-altern atau tertindih dalam wacana “pemerintah telah menyiapkan skenario terburuk” tersebut.
[Opini : Muhammad Yasir, Sumber Referensi: Wikipedia, Penyebaran Covid-19 Secara Global. 2021, Kompas.com, Indonesia Disebut Episentrum Baru Covid-19 di asia, Epidemiolog Soroti Kebijakan yang Belum Selesai. 2021, Suara.com, Luhut Siapkan Skenario Terburuk Jika Kasus Covid-19 Tembus 100 Ribu Sehari. 2021).[Red]
Discussion about this post